VALENTINE DAY (HARI BERKASIH SAYANG)

Menurut pandangan Islam 
Benarkah ia hanya kasih sayang belaka ? 
 
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Surah Al-An’am : 116)  

Hari 'kasih sayang' yang dirayakan oleh orang-orang Barat pada tahun-tahun terakhir disebut 'Valentine Day' amat popular dan merebak di pelusuk Indonesia bahkan di Malaysia juga. Lebih-lebih lagi apabila menjelangnya bulan Februari di mana banyak kita temui jargon-jargon (simbol-simbol atau  iklan-iklan) tidak Islami hanya wujud demi untuk mengekspos (mempromosi) Valentine. Berbagai tempat hiburan bermula dari diskotik(disko/kelab malam), hotel-hotel, organisasi-organisasi mahupun kelompok-kelompok kecil; ramai yang berlumba-lumba menawarkan acara untuk merayakan Valentine. Dengan  dukungan(pengaruh) media massa seperti surat kabar, radio mahupun televisyen; sebagian besar orang Islam juga turut dicekoki(dihidangkan) dengan iklan-iklan Valentine Day.  

SEJARAH VALENTINE:Sungguh merupakan hal yang ironis(menyedihkan/tidak sepatutnya terjadi) apabila telinga kita mendengar bahkan kita sendiri 'terjun' dalam perayaan Valentine tersebut tanpa mengetahui sejarah Valentine itu sendiri. Valentine sebenarnya adalah seorang martyr (dalam Islam disebut 'Syuhada') yang kerana kesalahan dan bersifat 'dermawan' maka dia diberi gelaran Saint atau Santo. 

Pada tanggal 14 Februari 270 M, St. Valentine dibunuh karena pertentangannya (pertelingkahan) dengan penguasa Romawi pada waktu itu iaitu Raja Claudius II (268 - 270 M). Untuk mengagungkan dia (St. Valentine), yang dianggap sebagai simbol ketabahan, keberanian dan kepasrahan dalam menghadapi cubaan hidup, maka para pengikutnya memperingati kematian St. Valentine sebagai 'upacara keagamaan'.  

Tetapi sejak abad 16 M, 'upacara keagamaan' tersebut mulai beransur-ansur hilang dan berubah menjadi 'perayaan bukan keagamaan'. Hari Valentine kemudian dihubungkan dengan pesta jamuan kasih sayang bangsa Romawi kuno yang disebut “Supercalis” yang jatuh pada tanggal 15 Februari.  

Setelah orang-orang Romawi itu masuk agama Nasrani(Kristian), pesta 'supercalis'  kemudian dikaitkan dengan upacara kematian St. Valentine. Penerimaan upacara kematian St. Valentine sebagai 'hari kasih sayang' juga dikaitkan dengan kepercayaan orang Eropah bahwa waktu 'kasih sayang' itu mulai bersemi 'bagai burung jantan dan betina' pada tanggal 14 Februari.  

Dalam bahasa Perancis Normandia, pada abad pertengahan terdapat kata “Galentine” yang bererti 'galant atau cinta'. Persamaan bunyi antara galentine dan valentine menyebabkan orang berfikir bahwa sebaiknya para pemuda dalam mencari pasangan hidupnya pada tanggal 14 Februari. Dengan berkembangnya zaman, seorang 'martyr' bernama St. Valentino mungkin akan terus bergeser jauh pengertiannya(jauh dari erti yang sebenarnya). Manusia pada zaman sekarang tidak lagi mengetahui dengan jelas asal usul hari Valentine. Di mana pada zaman sekarang ini orang mengenal Valentine lewat (melalui) greeting card, pesta persaudaraan, tukar kado(bertukar-tukar memberi hadiah) dan sebagainya tanpa ingin mengetahui latar belakang sejarahnya lebih dari 1700 tahun yang lalu.  

Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa moment(hal/saat/waktu) ini hanyalah tidak lebih bercorak kepercayaan atau animisme belaka yang berusaha merosak 'akidah' muslim dan muslimah sekaligus memperkenalkan gaya hidup barat  dengan kedok percintaan(bertopengkan percintaan), perjodohan dan kasih sayang. 

PANDANGAN ISLAM  

Sebagai seorang muslim tanyakanlah pada diri kita sendiri, apakah kita akan mencontohi begitu saja sesuatu yang jelas bukan bersumber dari Islam ? 

Mari kita renungkan firman Allah s.w.t.: 

“ Dan janglah kamu megikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabnya”. (Surah Al-Isra : 36)  

Dalam Islam kata “tahu” berarti mampu mengindera(mengetahui) dengan seluruh panca indera yang dikuasai oleh hati. Pengetahuan yang sampai pada taraf mengangkat isi dan hakikat sebenarnya. Bukan hanya sekedar dapat melihat atau mendengar. Bukan pula sekadar tahu sejarah, tujuannya, apa, siapa, kapan(bila), bagaimana, dan di mana, akan tetapi lebih dari itu. 

Oleh kerana itu Islam amat melarang kepercayaan yang membonceng(mendorong/mengikut) kepada suatu kepercayaan lain atau dalam Islam disebut Taqlid. 

Hadis Rasulullah s.a.w:“ Barang siapa yang meniru atau mengikuti suatu kaum (agama) maka dia termasuk kaum (agama) itu”.Firman Allah s.w.t. dalam Surah AL Imran (keluarga Imran) ayat 85 :“Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-sekali tidaklah diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.HAL-HAL YANG HARUS DIBERI PERHATIAN:- 

Dalam masalah Valentine itu perlu difahami secara mendalam terutama dari kaca mata agama kerana kehidupan kita tidak dapat lari atau lepas dari agama (Islam) sebagai pandangan hidup. Berikut ini beberapa hal yang harus difahami di dalam  masalah 'Valentine Day'.  

1. PRINSIP / DASAR    Valentine Day adalah suatu perayaan yang berdasarkan kepada pesta jamuan 'supercalis' bangsa Romawi kuno di mana setelah mereka masuk Agama  Nasrani (kristian), maka berubah menjadi 'acara keagamaan' yang dikaitkan dengan kematian St. Valentine. 

2. SUMBER ASASI    Valentine jelas-jelas bukan bersumber dari Islam, melainkan bersumber dari rekaan fikiran manusia yang diteruskan oleh pihak gereja. Oleh kerana itu lah , berpegang kepada akal rasional manusia semata-mata, tetapi jika tidak berdasarkan kepada Islam(Allah), maka ia akan tertolak.Firman Allah swt dalam Surah Al Baqarah ayat 120 :“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemahuan  mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.  

3. TUJUAN    Tujuan mencipta dan mengungkapkan rasa kasih sayang di persada bumi adalah baik. Tetapi bukan seminit untuk sehari dan sehari untuk setahun. Dan bukan pula bererti kita harus berkiblat kepada Valentine seolah-olah meninggikan ajaran lain di atas Islam. Islam diutuskan kepada umatnya dengan memerintahkan umatnya untuk berkasih sayang dan menjalinkan persaudaraan      yang abadi di bawah naungan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Bahkan Rasulullah s.a.w. bersabda :“Tidak beriman salah seorang di antara kamu sehingga ia cinta kepada saudaranya seperti cintanya kepada diri sendiri”.  

4. OPERASIONAL Pada umumnya acara Valentine Day diadakan dalam bentuk pesta pora dan huru-hara.

Perhatikanlah firman Allah s.w.t.:“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithon dan    syaithon itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (Surah Al Isra : 27) 

Surah Al-Anfal ayat 63 yang berbunyi : “…walaupun kamu membelanjakan    semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat    mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati    mereka. Sesungguhnya Dia (Allah) Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  

Sudah jelas ! Apapun alasannya, kita tidak dapat menerima kebudayaan import dari luar yang nyata-nyata bertentangan dengan keyakinan (akidah) kita. Janganlah kita mengotori akidah kita dengan dalih toleransi dan setia kawan. Kerana kalau dikata toleransi, Islamlah yang paling toleransi di dunia.  

Sudah berapa jauhkah kita mengayunkan langkah mengelu-elukan(memuja-muja)Valentine Day ? Sudah semestinya kita menyedari sejak dini(saat ini), agar jangan sampai terperosok lebih jauh lagi. Tidak perlu kita irihati dan cemburu dengan upacara dan bentuk kasih sayang agama lain. Bukankah Allah itu Ar Rahman dan Ar Rohim.  Bukan hanya sehari untuk setahun. Dan bukan pula dibungkus dengan hawa nafsu. Tetapi yang jelas kasih sayang di dalam Islam lebih luas dari semua itu. Bahkan Islam itu merupakan 'alternatif' terakhir setelah manusia gagal dengan sistem-sistem lain.  

Lihatlah kebangkitan Islam!!! Lihatlah kerosakan-kerosakan yang ditampilkan oleh peradaban Barat baik dalam media massa, televisyen dan sebagainya. Karena sebenarnya Barat hanya mengenali perkara atau urusan yang bersifat materi. Hati mereka kosong dan mereka bagaikan 'robot' yang bernyawa.  

MARI ISTIQOMAH (BERPEGANG TEGUH) Perhatikanlah Firman Allah :“…dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim”. 

Semoga Allah memberikan kepada kita hidayahNya dan ketetapan hati untuk dapat istiqomah dengan Islam sehingga hati kita menerima kebenaran serta menjalankan ajarannya.Tujuan dari semua itu adalah agar diri kita selalu taat sehingga dengan izin Allah s.w.t.kita dapat berjumpa dengan para Nabi baik Nabi Adam sampai Nabi Muhammad s.a.w.

Firman Allah s.w.t.:“Barangsiapa yang taat kepada Allah dan RasulNya maka dia akan bersama orang-orang yang diberi nikmat dari golongan Nabi-Nabi, para shiddiq (benar imannya), syuhada, sholihin (orang-orang sholih), mereka itulah sebaik-baik teman”.  

Catatan PENTING! 

"VALENTINE" adalah nama seorang paderi. Namanya Pedro St. Valentino. 14 Februari 1492 adalah hari kejatuhan Kerajaan Islam Sepanyol. Paderi ini umumkan atau isytiharkan hari tersebut sebagai hari 'kasih sayang' kerana pada nya Islam adalah ZALIM!!!  Tumbangnya Kerajaan Islam Sepanyol dirayakan sebagai Hari Valentine. Semoga Anda Semua Ambil Pengajaran!!! Jadi.. mengapa kita ingin menyambut Hari Valentine ini kerana hari itu adalah hari jatuhnya kerajaan Islam kita di Sepanyol.. 

Sumber : Catatan FaceBook
ReadmoreVALENTINE DAY (HARI BERKASIH SAYANG)

Optimisme dalam Tahun Baru Hijriyah

Beberapa hari lagi kita akan memasuki bulan Muharram, bulan yang menandai datangnya kembali tahun baru hijriyah. Kali ini kita memasuki tahun 1433 Hijriyah. Tentunya ada sejuta harapan dan impian yang memenuhi dada kita alam menyambut datangnya tahun baru hijriyah.

Dengan pergantian waktu setahun, menunjukkan bahwa umur kita bertambah satu tahun, tetapi kesempatan hidup kita di dunia telah ebrkurang pula satu tahun, yang berarti semakin jauh kita dari kelahiran dan semakin dekat kita kepada kematian.

Hasan al-Basri mengumpamakan manusia bagaikan kumpulan hari-hari, setiap hari yang pergi, kita seperti kehilangan bagian dari diri kita. Apa yang telah pergi tidak akan pernah kembali.

Tahun baru hijriyah mengingatkan kita kepada kejadian spektakuler yang pernah terjadi dalam sejarah Islam, yaitu peristiwa "hijrah". Hijrah secara harfiah artinya perpindahan dari satu negeri ke negeri lain, dari satu kawasan ke kawasan lain, atau perubahan lokasi dari titik tertentu ke titik yang lain.

Secara historis, hijrah adalah peristiwa keberangkatan nabi besar Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya dari kota Makkah menuju kota Yathrib, yang kemudian disebut al-Madinah al-Munawwarah.

Ditetapkannya peristiwa hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah sebagai awal tahun dari penanggalan atau kalender Islam, mengandung beberapa hikmah yang sangat berharga bagi kaum muslimin, diantaranya:

Pertama: perisitwa hijrah Rasululah dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah merupakan tonggak sejarah yang monumental dan memiliki majna yang sangat berarti bagi setiap muslim, karena hijrah merupakan tonggak kebangkitan Islam yang semula diliputi suasana dan situasi yang tidak kondusif di Makkah menuju suasana yang prospektif di Madinah.

Kedua: Hijrah mengandung semangat perjuangan tanpa putus asa dan rasa opimisme yang tinggi, yaitu semangat berhijrah dari hal-hal yang buruk kepada yang baik, dan hijrah daru hal-hal yang baik ke yang lebih baik.

Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya telah melawan rasa sedih dan takut dengan berhijrah, meski harus meninggalkan tanah kelahiran, sanak saudara dan harta benda.

Ketiga: Hijrah mengandung semangat persaudaraan, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. pada saat beliau mempersaudarakan antara kaum muhajirin dengan kaum anshar, bahkan beliau telah membina hubungan baik dengan beberapa kelompok yahudi yang hidup di Madinah dan sekitarnya.

Dalam konteks sekarang ini, pemaknaan hijrah tentu bukan selalu harus identik dengan meninggalkan kampung halaman seperti yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dan kaum muhajirin, tetapi pemaknaan hijrah lebih kepada nilai-nilai dan semangat berhijrah itu sendiri, karena hijrah dalam arti seperti ini tidak akan pernah berhenti.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ada seorang yang mendatangi Rasulullah dan berkata: wahai Rasulullah,s aya baru saja mengunjungi kaum yang berpendapat bahwa hijrah telah telah berakhir, Rasulullah bersabda:”Sesungguhnya hijrah itu tidak ada hentinya, sehingga terhentinya taubat, dan taubat itu tidak ada hentinya sehingga matahari terbit dari sebelah barat”.

Untuk itu, mari kita jadikan makna hijrah dengan semangat menyambut masa yang akan datang dengan penuh harapan, kita yakin bahwa sehabis gelap akan terbit terang, setelah kesusahan akan datang kemudahan dan kita yakin bahwa pagi pasti akan datang walaupun malam terasa begitu lama dan panjang. Karena roda kehidupan selalu berputar dan tidak mungkin berhenti.
Imam Syafi’i pernah ebrkata:”Memang sebeanrnya zaman itu sugguh menakjubkan,s ekali waktu engkau akan mengalami keterpurukan, tetapi pada saat yang lain engkau memperoleh kejayaan”.

Mari kita jadikan peralihan tahun sebagai momen untuk melihat kembali catatan yang mewarnai perjalanan hidup masa lalu, dengan melakukan renungan atas apa yang telah kita perbuat. Kita gunakan kesempatan ini untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup di dunia dan akhirat kelak, dengan bercermin kepada nilai-nilai dan semangat hijrah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, karena sesungguhnya Allah menjadi pergantian siang dan malam untuk dijadukan pelajaran dan mengungkapkan rasa syukur, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Furqan:62:

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ خِلْفَةً لِّمَنْ أَرَادَ أَن يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَادَ شُكُوراً"

Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur. "

Oleh Ustadz Muhajirin Abdul Qadir, Lc


Sumber: PesantrenVirtual
ReadmoreOptimisme dalam Tahun Baru Hijriyah

Kenapa Shalat Harus Menghadap Ka'bah?


Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia . (QS. Ali Imran : 96).


Mungkin selama ini kita selalu bertanya setiap kali kita melakukan ibadah sekaligus rukun Islam nomor dua yaitu shalat kita selalu menghadap kiblat, atau dalam hal ini Ka'bah. Nah mengapakah sebenarnya harus menghadap Ka'bah?

Hal ini sebenarnya merupakan sejarah yang paling tua di dunia. Bahkan jauh sebelum manusia diciptakan di bumi, Allah swt telah mengutus para malaikat turun ke bumi dan membangun rumah pertama tempat ibadah manusia. Ini sudah dituturukan dalam Al-Quran: Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia . (QS. Ali Imran : 96).

Konon di zaman Nabi Nuh as, ka'bah ini pernah tenggelam dan runtuh bangunannya hingga datang masa Nabi Ibrahim as bersama anak dan istrinya ke lembah gersang tanpa air yang ternyata disitulah pondasi Ka'bah dan bangunannya pernah berdiri. Lalu Allah swt memerintahkan keduanya untuk mendirikan kembali ka'bah di atas bekas pondasinya dahulu. Dan dijadikan Ka'bah itu sebagai tempat ibadah bapak tiga agama dunia. Dan ketika Kami menjadikan rumah itu (ka'bah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". (QS. ). Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, (QS. Al-Hajj : 27).

Di masa Nabi Muhammad, awalnya perintah shalat itu ke baitul Maqdis di Palestina. Namun Rasulullah saw berusaha untuk tetap shalat menghadap ke Ka'bah. Caranya adalah dengan mengambil posisi di sebelah selatan Ka'bah. Dengan mengahadap ke utara, maka selain menghadap Baitul Maqdis di Palestina, beliau juga tetap menghadap Ka'bah.

Namun ketika beliau dan para shahabat hijrah ke Madinah, maka menghadap ke dua tempat yang berlawanan arah menjadi mustahil. Dan Rasulullah saw sering menengadahkan wajahnya ke langit berharap turunnya wahyu untuk menghadapkan shalat ke Ka'bah. Hingga turunlah ayat berikut :

Sungguh Kami melihat mukamu menengadah ke langit , maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al Kitab memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah : 144).

Jadi di dalam urusan menghadap Ka'bah, umat Islam punya latar belakang sejarah yang panjang. Ka'bah merupakan bangunan yang pertama kali didirikan di atas bumi untuk dijadikan tempat ibadah manusia pertama. Dan Allah swt telah menetapkan bahwa shalatnya seorang muslim harus menghadap ke Ka'bah sebagai bagian dari aturan baku dalam shalat. (sa/berbagaisumber)

Sumber:Era Muslim
ReadmoreKenapa Shalat Harus Menghadap Ka'bah?

Ketika Malaikat Bicara Haji



Alkisah, pada suatu musim haji, dua malaikat bercakap-cakap di dekat Kabah di Masjidil Haram.

- Berapa jumlah orang yang naik haji tahun ini?
- Enam ratus ribu.
- Berapa yang diterima hajinya?
- Hanya dua orang, salah satunya bahkan tidak menunaikan hajinya ke sini.

Kisah bernuansa sufi itu dinisbatkan kepada ulama Abdullah bin Mubarak yang bermimpi bertemu dua malaikat saat ia tidur di dekat Kabah. Dalam mimpi itu, malaikat menyatakan, seorang yang tidak pergi, tetapi diterima hajinya itu adalah Ali bin Al-Mufiq, orang Damaskus.

Belakangan, Abdullah pun mencarinya. Ternyata Al-Mufiq adalah tukang semir sepatu yang menyerahkan 3.000 dinar hasil jerih payah yang ditabungnya untuk bekal haji kepada seorang tetangga dengan anak-anak yang sudah tiga hari kelaparan.

Esensi haji

Itu dulu. Itu di Damaskus. Di Indonesia, yang terjadi sekarang ini berbeda. Di media sosial Twitter terbetik pembicaraan bahwa meski tiap tahun jumlah jemaah haji kita terus meningkat, agaknya banyak di antara mereka adalah para koruptor yang menganggap bisa mencuci uang haramnya di Masjidil Haram.

Namun, ulama bilang, ”Mereka beranggapan sepulang haji akan bersih dari dosa, padahal haji yang dibiayai uang haram sama sekali tak akan diterima.” Bahkan, seorang yang pergi haji, tetapi membiarkan tetangganya yang kelaparan pun tidak akan mabrur sekalipun uang yang dipakai berhaji itu uang halal.

Mungkin saja mereka lupa pada salah satu esensi ajaran Islam berupa Tauhid al-Ibadah, sebagaimana dicontohkan Ibrahim AS (’Alaihis Salam) dan keluarganya. Mungkin mereka lupa haji itu sebuah cermin pernyataan tekad tentang kesiapan menghamba hanya kepada Tuhan, bukan kepada uang atau kekuasaan, yang secara tegas diwujudkan dalam kalimat talbiyah: Labbaik Allahumma Laka Labbaik. Haji itu sebuah penelusuran sejarah pengabdian Ibrahim dan keluarganya, sebuah ”tapak tilas” pengorbanan bagi orang lain, demi ibadah kepada satu Tuhan Yang Mahaagung.

Al Quran menggambarkan secara tegas bahwa Ibrahim, istri dan putranya, Ismail, adalah orang-orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan sehingga perintah apa pun akan mereka jalani meski hal itu bertentangan dengan perasaan atau pikiran mereka. Kata Ibrahim dalam doanya, ”Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, hidup, dan matiku kepunyaan Allah Rab al-Alamin....” Ismail juga demikian: siap disembelih sesuai dengan perintah Allah. Bagi Ibrahim dan keluarganya, penyerahan total, Tauhid al-Ibadah, itu adalah siap mengorbankan nyawa Ismail di meja sembelihan.

Namun, belakangan Allah gantikan nyawa Ismail dengan ”Penyembelihan Agung” (bi dzibhin ’adziim). Ahli tafsir memaknai frase ”Penyembelihan Agung” dalam Al Quran bukan sekadar penukaran Ismail dengan seekor domba (mana mungkin kambing lebih agung dari nyawa seorang nabi?), melainkan berupa pemenggalan anak-cucu Ismail, yakni Al-Husain AS.

Sejarah mencatat, pada 10 Muharam 61 Hijriah (8 Januari 680 M) Al-Husain mati syahid dengan kepala terpenggal akibat penentangannya terhadap penguasa Bani Umayyah yang tiran, Yazid bin Muawiyah. Al-Husain adalah cucu Nabi Muhammad SAW. Ia dan abangnya, Al-Hasan AS, adalah anak-anak putri Nabi, Siti Fatimah AS, yang menikah dengan khalifah ke-4, Ali bin Abi Thalib. Berhubung Nabi Muhammad SAW adalah cucu Nabi Ismail AS, dalam sebuah hadisnya, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa, ”Husain dari aku dan aku dari Husain.”

Lama sebelum itu, Husain mengetahui bahwa mayoritas Muslimin menentang kekuasaan Yazid. Tak kurang dari 12.000 surat diterima Husain dari penduduk Irak, Yaman, dan negeri lain; semua menolak kepemimpinan Bani Umayyah yang penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme itu.

Sesudah dicincang tentara yang dipimpin Shimr Bin Dziljawshan, kepala Husain dipermainkan bagai bola, digiring bersama putranya (yang sakit) Ali Zainal Abidin—yang jadi kakek moyang para sayid di dunia, termasuk para habib di Indonesia—dan para tawanan wanita keluarga Nabi Muhammad SAW, menuju istana Yazid di Damaskus, tempat ia biasa mabuk-mabukan dan bercengkerama dengan monyetnya.

Sebetulnya Husain telah berada di Mekkah sekitar tiga bulan sebelum musim haji, tetapi ia membatalkan hajinya. Itu dilakukannya untuk menunjukkan, memerangi penguasa zalim, memperjuangkan keadilan, dan melepaskan rakyat yang lemah (al-mustadz’affin) dari penderitaan sebagai sebuah tindakan yang lebih penting.

Sekiranya Husain bersama 72 pengikutnya tak memerangi pasukan Yazid saat itu, barangkali brand Islam bakal berantakan, menjadi ”Islam” yang ditentukan oleh diktator dan koruptor. Bukan Islam yang penuh akhlak mulia, yang menjunjung keadilan dan kekuatan pembebas manusia dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan kezaliman.

Kesyahidan Husain pada 10 Muharam—lazim disebut ’Asyura’—itu kini jadi legenda di dunia, baik di kalangan penganut Syiah maupun Sunni. Di Indonesia, misalnya, orang tabu mengadakan pesta (perkawinan, misalnya) pada bulan Syura. Saat itu, di banyak tempat seperti di Pariaman, Sumatera Barat, masyarakat memperingatinya dengan acara Tabot atau Tabuik, sementara anak-anak yatim—mulai dari Aceh, Jawa, hingga Kalimantan dan Sulawesi—dijamu makanan semacam bubur merah-putih.

Berkorban untuk sesama

Keteladanan Husain itu jadi relevan untuk dikenang saat memperingati hari raya (Kurban) sekarang ini. Pertama, menjadikannya salah satu cermin beragama di ”jalan lurus”. Kedua, mengajarkan, berkorban diri untuk menggembirakan orang lain merupakan budi pekerti yang utama dalam Islam. Kata Nabi Muhammad SAW, ”Aku diutus menyempurnakan akhlak.”

Kepergian Husain untuk berperang melawan 4.000-an pasukan bersenjata (bukan seperti teroris yang membunuh kaum sipil tak berdosa dan tanpa senjata), sebagaimana kesiapan Ismail untuk mati, jadi teladan bahwa berkorban untuk orang lain sangat utama nilainya dibandingkan dengan ibadah ritual.

Nabi Muhammad SAW sendiri mengajarkan, orang yang menyantuni janda dan orang miskin, misalnya, mendapat pahala seperti pejuang di jalan Allah, seperti halnya orang yang terus-menerus shalat malam dan terus-menerus puasa. Demikian pula mencari ilmu satu hari lebih utama nilainya dibandingkan dengan puasa tiga bulan. Sebaliknya, tidaklah beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya kelaparan.

Walhasil, kita jadi bertanya, apakah koruptor yang berhaji masih bisa merasa tenang ketika masyarakat di sekeliling mereka, yang miskin dan terpinggirkan, akan menuntut hak mereka kepada Tuhan-nya orang lemah (Rabb al-Mustadz’affin)? Islam menegaskan, doa kaum mustadz’affin atau tertindas sangat mustajab, apalagi jika para malaikat mengamini doa mereka.
Kalau hanya 2 dari 600.000 yang mabrur, seperti kata 2 malaikat dalam kisah itu, maka tahun 2011 saat ini orang naik haji ke Mekkah sekitar 2 juta orang. Kalau pembicaraan 2 malaikat itu kita jadikan referensi, artinya yang hajinya mabrur hanya (2 juta dibagi 600 ribu lalu dikali 2 orang) atau sama dengan 7 orang saja. Diantara 7 orang itu, karena 10%-nya jamaah haji itu dari Indonesia, berarti jamaah kita yang hajinya diterima sekitar 0,7 orang saja ... tak sampai 1 orang! Wallahu'alam!


Source : KasKus.Us
ReadmoreKetika Malaikat Bicara Haji

Selamat Hari Raya Idul Adha 1432H






" Dan Kami panggillah dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’".(Ash-Shaffat: 100-109)

Selamat Hari Raya Idul Adha
1432 H

Semoga Allah menerima amal-amal kita, mengampuni dosa-dosa kita, dan menerima qurban kita sebagai bentuk takwa kepada-Nya.

Amin Ya Rabbal `Alamin
ReadmoreSelamat Hari Raya Idul Adha 1432H

Idul Adha Berpotensi Dirayakan Bersama

NU dan Muhammadiyah Jawa Timur sudah melakukan perhitungan bulan yang hasilnya sama.




VIVAnews - Hari Raya Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1432 H berpeluang dilaksanakan secara bersama-sama antara warga Nahdhlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan Pemerintah, yakni pada tanggal 6 Nopember 2011. Hal ini dikatakan Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Nadjib Hamid.

Berdasarkan sistem hisab haqiqi yang dilakukan dengan Markas Tanjung
Kodok di Lamongan, Jawa Timur, ijtima akhir bulan Dzulkaidah 1432 H
terjadi pada Kamis 27 Oktober 2011, bertepatan dengan 29 Dzulkaidah
1432 H. Ini antara pukul 02.56 sampai dengan pukul 02.57 WIB.

Pada saat matahari terbenam, hari itu menunjukkan pukul 17:24:38 WIB, hilal sudah wujud antara 6 derajat 45'42,76" sampai dengan 6 derajat
55 menit.

"Sehingga tanggal 1 Dzulhijah 1432 H, jatuh pada Jumat 28 Oktober 2011 dan 10 Dzulhijjah 1432 H atau Hari Raya Idul Adha jatuh pada hari Ahad 6 Nopember 2011," jelas Najib. "Insya Allah pelaksanaannya bareng."

Senada dengan Muhammadiyah, PWNU Jatim menyatakan, dari hasil rukyatul hilal yang dilaksanakan pada Kamis 27 Oktober 2011, terindikasi ijtima akhir Dzulkaidah terjadi pada Kamis 27 Oktober 2011 sekitar pukul 02.56 sampai dengan pukul 04.11 WIB.

Menurut perhitungan hisabkhulashoh al wafiyah atau hisab haqiqi,
irtifa'hilalal sekitar 6'27 sampai 7'23 derajat. Dari 22 sistem atau
rujukan mengambil kesimpulan bahwa, 1 Dzulhijah jatuh pada hari Jumat, 28 Oktober 2011, dan 10 Dzulhijah jatuh pada Minggu 6 Nopember 2011.

Sumber : nasional.vivanews.com
ReadmoreIdul Adha Berpotensi Dirayakan Bersama

Mengapa Lantai Masjidil Haram Tidak Terasa Panas?

detail berita




MELAKUKAN thawaf (memutari Kakbah) di malam dan siang hari memang berbeda. Jika malam hari, cuaca cukup sejuk. Karenanya, orang sekitar Mekkah jika ingin melakukan umrah biasanya dilakukan pada malam hari.

Begitu juga dengan warga di sekitar Kota Mekkah seperti Jeddah. Warga di kota yang berlokasi sekira satu jam perjalanan dari Mekkah ini, biasanya berangkat pada sore hari agar bisa salat Magrib berjamaah sekaligus melakukan umrah.

“Kebiasaan orang di sini begitu. Agak aneh kalau berangkat ke Mekkah untuk umrah pada pagi hari,” ucap guide MCH Jeddah, Sahe, yang sudah tinggal 23 tahun di Arab Saudi.

Memang suhu di Mekkah belakangan ini cukup panas berkisar antara 40-42 derajat celsius. Bandingkan dengan Jakarta yang puncak panasnya berada di kisaran 37 derajat celcius. Puncak panas biasanya terjadi pada pukul 15.00 waktu setempat. Setelah itu, terus menurun hingga malam hari.

Kru okezone sudah merasakan thawaf di malam dan siang hari. Memang kondisinya sangat jauh berbeda. Jika malam hari, melakukan thawaf tidak terlalu menguras tenaga.

Berbeda halnya jika thawaf dilakukan siang hari. Keringat sudah pasti bercucuran karena panas matahari yang menyengat.

Meski demikian yang unik, meski mengelilingi Kakbah tanpa alas kaki, namun telapak tidak terasa panas sama sekali. Padahal tempat thawaf merupakan ruang terbuka, panas matahari langsung menerpa lantai marmer.

Ini berberda dengan lantai di jalan hendak keluar dari pintu Marwah. Saat berjalan, telapak kaki berasa sangat panas bak berjalan di atas bara api. Kami berjinjit dan berlari kecil untuk menghindari panas tersebut.

Lalu kenapa di lantai tempat thawaf dan di luar masjidil haram berbeda 180 derajat. Ini menimbulkan rasa penasaran. Salah satu ummal (cleaning service) di Masjidil Haram, Udin (40), mengatakan di bawah Kakbah dan tempat thawaf memang dipasang air conditioner agar telapak kaki peziarah tidak melepuh, kepanasan.

Setelah membaca buku Sami bin Abdullah al Maghlouthm ‘Atlas Haji dan Umrah’ dan sumber lainnya, barulah terungkap. Awalnya, tempat thawaf tidak berubin marmer seperti saat ini. Dulu hanyalah hamparan pasir lapang. Barulah pada masa Abdullah Ibnu Zubair. Ubinnya saat itu bergaris lima meter dari Kakbah, hingga 1375 Hijriyah atau 1954 M di masa Raja Abdul Azis sumbangan marmer terus berdatangan. Kini lantai marmer untuk thawaf terbuat dari marmer kualitas terbaik yang mampu menahan teriknya panas matahari.

Awalnya lokasi thawaf tidak seluas sekarang, terdapat bangunan di atas Maqam Ibrahim dan juga gerbang pintu masuk sumur Zamzam.

Pada masa Raja Faisal renovasi dilakukan melanjutkan periode Raja Saud, di antaranya adalah pembongkaran bangunan di atas Maqam Ibrahim, sehingga lokasi untuk thawaf lebih lebar dari sebelumnya.

Pada masa Raja Khalid, perluasan halaman untuk thawaf kembali diperlebar. Gerbang menuju sumur zamzam dipindahkan ke dekat serambi masjid sebelah timur. Karena itulah area thawaf menjadi lebih luas dari 3.298 meter menjadi 8.500 meter, seluruh bagian Masjidil Haram lama menjadi tempat thawaf.

Kemudian, renovasi dilanjutkan pada masa Raja Fahd. Dibangunlah ruang bawah tanah. Tak hanya itu, lantai bawah tanah juga dilengkapi dengan pengatur udara AC. Pusat mesinnya dibangun di kawasan Ajyad. Air dingin dialirkan di lantai bawah tanah berasal dari tempat yang sama.

Jadi wajar saja, jika lantai yang dipakai untuk tempat thawaf tidak berasa panas sekalipun suhu udara sangat panas. Ini adalah bentuk pelayanan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi terhadap jamaah yang setiap tahun harus meninggalkan sanak keluarga di negara mereka demi melaksanakan Rukun Islam ke-5.

Sumber
ReadmoreMengapa Lantai Masjidil Haram Tidak Terasa Panas?

Masjid Essalaam , Masjid terbesar di Belanda



Masjid Essalam, yang terletak di Kota Rotterdam, merupakan masjid terbesar di Belanda dan juga salah satu yang terbesar di seluruh kawasan Eropa Barat.
Didanai oleh Yayasan Al Maktoum milik Sheikh Hamdan bin Rashid Al Maktoum, Penguasa Dubai dan Deputi Menteri Keuangan UEA, Masjid Essalaam ini membutuhkan waktu sekitar 11 tahun untuk bisa berdiri seanggun seperti sekarang ini.
Sejak awal proses pembangunannya, yaitu pada tahun 1999 yang ditandai dengan diterbitkannya izin resmi pembangunan beberapa masjid untuk komunitas Muslim di Belanda, tempat ibadah yang mampu menampung 2.600 jamaah ini menghadapi penolakan dan perlawanan dari berbagai pihak, terutama dari kelompok-kelompok anti-imigran dan anti-Islam di Belanda.
Namun itu hanyalah kisah lalu. Kini bangunan yang berdiri di lingkungan imigran di selatan Rotterdam dan berdekatan dengan stadion sepak bola milik klub Fijenoord tersebut telah membuka pintu seluas-luasnya. Tak hanya sekedar menjadi tempat ibadah bagi umat Muslim di Rotterdam saja, namun juga telah menjadi jembatan antara masyarakat Muslim dan seluruh kota, terutama dalam hal budaya dan sosial.
Gaya arsitektur Mameluke yang berkembang di Kairo pada abad 15 merupakan urat nadi desain bangunan Masjid Essalam ini. Bagian dindingnya dilapisi lempengan granit dan memiliki aksen halus warna biru abu-abu, sedangkan menaranya sendiri dibuat dengan inspirasi dari bentuk menara gereja Amsterdam abad ke-17 yang dirancang oleh Hendrick de Keyser. Secara garis besar, Masjid Essalam merupakan contoh sempurna dari apa yang dikenal sebagai fusion architecture, dimana budaya serta identitas Islam dan Rotterdam secara indah tersulam.













ReadmoreMasjid Essalaam , Masjid terbesar di Belanda

Mengajar Lembu Mengaji Al-Qur’an

“Panggil Abu Nawas kemari hari ini juga,“ titah Sultan Harun Al-Rasyid kepada seorang hambanya.

“Tuan Abu Nawas …” kata si hamba raja sesampai di rumah Abu Nawas, “Tuan Hamba dipersilahkan Baginda datang ke istana hari ini juga.”

Hanya berjarak setengah jam setelah hamba sahaya tadi sampai di istana, Abu Nawas pun tiba di sana.

“Hai Abu Nawas …” kata Sultan, “Tahukah kamu mengapa kamu aku panggil kemari? Aku minta tolong kepadamu untuk mengajari lembuku supaya bisa mengaji Al-Qur’an. Jika lembu itu tidak dapat mengaji, niscaya aku akan menyuruh mereka membunuh kamu.”

“Baiklah Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas, “Titah tuanku patik junjung di atas kepala patik.” Kemudian Abu Nawas di suruh pulang dengan menghela seekor lembu. Sesampai dirumah lembu itu diikat erat-erat pada sebatang pohon kurma.

Esok harinya Abu Nawas mulai memukul lembu itu dengan sebuah cambuk rotan sampai setengah mati. Ketika binatang itu hampir mengamuk, Abu Nawas mengucapkan kata “atau”, “atau”, “atau”. Perkataan itulah yang diajarkan Abu Nawas kepada lembu itu sambil tetap mengayunkan cambukannya tanpa henti. Pekerjaan itu ia lakukan setiap hari pagi sampai tengah hari dan dari dhuhur sampai maghrib selama beberapa hari sehingga tidak terpikirkan untuk menghadap ke istana.

Setengah bulan kemudian baginda menyuruh seorang hamba melihat ke rumah Abu Nawas, apakah dia mampu mengajari lembu itu mengaji atau tidak.

Apa yang disaksikan oleh hamba sahaya tadi di rumah Abu Nawas, tiada lain cambukan yang dilancarkan oleh Abu Nawas ke badan lembu itu sambil berkata ”atau, “atau, “atau” sampai binatang itu kesakitan setengah mati. Maka dilaporkanlah hal itu kepada Baginda Sultan.

“Mohon ampun baginda,” kata hamba sahaya itu sesampai di Istana, “Patik lihat Abu Nawas sedang mengajar lembu itu di belakang rumah dengan sebuah cambuk rotan yang besar. Jika tali pengikatnya tidak kuat pastilah lembu itu lepas dan mengamuk, yang diajarkan tidak lain hanyalah tiga patah kata , yaitu “atau”, “atau”, “atau”.

Baginda terheran-heran mendengar laporan itu, setelah berpikir sejenak baginda bertitah, “Panggil kemari Abu Nawas sekarang juga, aku mau tahu apakah lembu itu sudah bisa mengaji atau belum.”

Tidak lama kemudian Abu Nawas pun sampai di Istana, ia pun datang menyembah.

“Hai Abu Nawas, sudahkah engkau mengajari lembuku itu dan apakah lembu itu sudah bisa mengaji Al-Qur’an?” tanya Baginda Sultan.

Sudah bisa sedikit-sedikit, Ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas.

“Tadi aku suruh seorang hamba melihat ke rumahmu, katanya engkau mengajari lembu itu kalimat “atau”, “atau”, “atau”. Aku mau tahu apa artinya perkataan itu?”

“Ampun ke Duli Syah Alam,” kata Abu Nawas. Arti “atau”, “atau”, “atau” itu adalah jika bukan lembu yang mati, atau hamba, atau tuanku, atau tidak ada salah seorang yang mati, hamba tidak akan puas. Sebab sampai habis umurnya sekalipun, binatang itu tidak akan bisa mengaji Al-Qur’an. Itu sebabnya binatang itu hamba cambuk agar mati. Dengan demikian hamba senang karena pekerjaan hamba dapat selesai. Atau hamba yang mati, atau Paduka yang mati, atau salah satu, barulah habis perkara lembu itu.”


Baginda terperanjat di tempat duduknya, tidak dapat berkata sepatah katapun. Setelah tercenung sejenak, baginda berkata. “Kalau begitu lembu itu boleh kamu ambil, atau kamu jual, atau kamu buat sate.”

“Terima kasih banyak-banyak, ya Tuanku Baginda Syah Alam,” kata Abu Nawas sambil menyembah hingga kepalanya menyentuh tanah. Ia pun mohon diri pulang ke rumah dengan langkah ringan dan hati senang.
ReadmoreMengajar Lembu Mengaji Al-Qur’an

Kisah Enam Ekor Lembu yang Pandai Bicara

Pada suatu hari, Sultan Harun al-Rasyid memanggil Abu Nawas menghadap ke Istana. Kali ini Sultan ingin menguji kecerdikan Abu Nawas. Sesampainya di hadapan Sultan, Abu Nawas pun menyembah. Dan Sultan bertitah, “Hai, Abu Nawas, aku menginginkan enam ekor lembu berjenggot yang pandai bicara, bisakah engkau mendatangkan mereka dalam waktu seminggu? Kalau gagal, akan aku penggal lehermu.

“Baiklah, tuanku Syah Alam, hamba junjung tinggi titah tuanku.”

Semua punggawa istana yang hadir pada saat itu, berkata dalam hati, “Mampuslah kau Abu Nawas!”

Abu Nawas bermohon diri dan pulang ke rumah. Begitu sampai di rumah, ia duduk berdiam diri merenungkan keinginan Sultan. Seharian ia tidak keluar rumah, sehingga membuat tetangga heran. Ia baru keluar rumah persis setelah seminggu kemudian, yaitu batas waktu yang diberikan Sultan kepadanya.

Ia segera menuju kerumunan orang banyak, lalu ujarnya, “Hai orang-orang muda, hari ini hari apa?”

Orang-orang yang menjawab benar akan dia lepaskan, tetapi orang-orang yang menjawab salah, akan ia tahan. Dan ternyata, tidak ada seorangpun yang menjawab dengan benar. Tak ayal, Abu Nawas pun marah-marah kepada mereka, “Begitu saja kok anggak bisa menjawab. Kalau begitu, mari kita menghadap Sultan Harun Al-Rasyid, untuk mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya.”

Keesokan harinya, balairung istana Baghdad dipenuhi warga masyarakat yang ingin tahu kesanggupan Abu Nawas mambawa enam ekor Lembu berjenggot.

Sampai di depan Sultan Harun Al-Rasyid, ia pun menghaturkan sembah dan duduk dengan khidmat. Lalu, Sultan berkata, “Hai Abu Nawas, mana lembu berjenggot yang pandai bicara itu?”

Tanpa banyak bicara, Abu Nawas pun menunjuk keenam orang yang dibawanya itu, “Inilah mereka, tuanku Syah Alam.”

“Hai, Abu Nawas, apa yang kau tunjukkan kepadaku itu?”

“Ya, tuanku Syah Alam, tanyalah pada mereka hari apa sekarang,” jawab Abu Nawas.

Ketika Sultan bertanya, ternyata orang-orang itu memberikan jawaban berbeda-beda. Maka berujarlah Abu Nawas, “Jika mereka manusia, tentunya tahu hari ini hari apa. Apalagi jika tuanku menanyakan hari yang lain, akan tambah pusinglah mereka. Manusia atau hewan kah mereka ini? “Inilah lembu berjenggot yang pandai bicara itu, Tuanku.”

Sultan heran melihat Abu Nawas pandai melepaskan diri dari ancaman hukuman. Maka Sultan pun memberikan hadiah 5.000 dinar kepada Abu Nawas.
ReadmoreKisah Enam Ekor Lembu yang Pandai Bicara